Jumat, 14 Oktober 2016

Review Film Pinky Promise


Film Pinky Promise rilis tanggal 13 Oktober 2016 di seluruh bioskop tanah air. Durasi yang dibawa sekitar 114 menit dengan genre drama. Untuk kategori penonton, film yang disutradarai Guntur Soeharjanto ini menaruh pada remaja 13 tahun keatas.

Jarang sekali menemukan film yang mengalir naik turun untuk mengaduk-aduk emosi penontonnya. Tapi sangat disayangkan, film ini ditonton tak lebih dari 5 orang di jam perdana tayangnya teater 2 di bioskop Semarang.

Bertema Kanker Panyudara

Saya baru tahu kalau bulan ini, tepatnya tanggal 26 Oktober diperingati sebagai hari kanker panyudara sedunia. Film ini dimaksudkan untuk mengedukasi lewat ceritanya dimana beberapa pemainnya mengalami kanker.

Ini tentang bagaimana perasaan orang yang menderita, orang-orang terdekat dan kesulitan-kesulitan yang dialami karena penyakit ini. Sangat menyentuh, sangat menyenangkan dan sangat mengharukan. Dan juga film ini bercerita tentang persahabatan.

"Ini sebuah film tentang perjuangan perempuan. Semoga bisa bikin orang ngerti gimana kalau hal ini terjadi di diri orang lain dan kita sendiri. Dibalut dengan drama-drama, film ini diharapkan dapat memberikan pandangan berbeda bagi pengidap kanker," Guntur Soeharjanto, sutradara Pinky Promise.
Lewat film ini, efek dari mereka yang terkena kanker Panyudara juga kita bisa tahu. Setidaknya, ada yang bisa sembuh kalau Anda mengikuti film ini hingga akhir.

Cerita

Film ini fokus pada 4 karakter dengan ceritanya masing-masing. Sempat diawal akan melihat sebuah kebahagian, apalagi wajah imut Chelsea Islan sudah menemani, ternyata tidak. Chlesea hanya beberapa kali nongol.


Fokus film langsung pada tokoh tante yang diperankan Ira Maya Sopha yang tidak memiliki kesempatan hidup karena penyakit yang udah dideritanya. Satu sisi ingin bangkit, sisi lainnya membangun keyakinan keponakannya, Anind (Agni Pratistha), bahwa ia bukan wanita paling bodoh di dunia.

Dalam ceritanya juga, dihadirkan rumah Pink yang menjadi rumah inspirasi bagi penderita dan keluarga yang terkena kanker. Rumah yang didirikan Tante dan Anind ini digunakan untuk  mereka yang menderita kanker. 

Selain memperlihatkan bagaimana rumah pink berdiri dan berbagai pesan soal informasi terkait kanker Panyudara, film ini sangat baik mengemas ceritanya. Masing-masing memiliki cerita dengan konfliknya sendiri sesuai karakter pemainnya.

Anda dalam sekejap bisa tersenyum manis, namun dalam sekejap juga, Anda dapat menangis haru mengikuti cerita. Silih berganti tanpa jeda, kecuali bagian akhir yang dibuat bahagia. Sepertinya Anda harus bawa tisu saat menonton film ini.

Gambar

Untuk memperkaya alur cerita agar lebih menarik, background yang dimasukkan bukan hanya Jakarta saja yang terlihat dengan bangunan tinggi-tingginya. Jogja dimasukkan juga dengan suasana laut biru dan pantai bersisir pasir coklat. Itu ada di bagian saat mereka tinggal di Vila.

Untuk gambarnya sendiri sudah sangat baik, meski sempat berpikir ini mirip film televisi. Oh ya, kamera dari atas (mungkin gunain drone) agak sedikit buat gambar tidak menarik.

Pemain dan totalitas mereka

Film ini sepertinya dikhususkan buat kaum hawa, hampir semua pemainnya didominasi wajah-wajah cantik seperti Agni Pratistha (Puteri Indonesia 2007),  Chelse, Baby (Alexandra Gottardo), Vina (Dea Ananda), Maudy Koesnadi, dan Ken (Dhea Seto). Jadi saya pikir film ini sangat menyenangkan ditonton.

Beberapa aktor pria yang dimasukkan ada Ringgo Agus Rahman, Derby Romero, Maudy Koesnaedi, dan Gunawan. Tapi porsinya sedikit sekali. 

Saya sangat mengapresiasi para pemainnya yang benar-benar bermain total untuk perannya. Bahkan mereka rela dipotong habis atau botak rambutnya. Agni dan Dhea, benar-benar botak.

Lewat situs resminya, pinkypromisemovie.com, Agni harus menjalani 2 kali pencukuran demi kebutuhan pengambilan gambar, sedangnkan Dea Seto, sekali cukur saja dalam 1 kali pengambilan gambar.

...

Yes, film ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya dan penontonnya meski cerita yang dibangun sangat sederhana. Bahkan, penonton pria yang ada beberapa meter dari tempat duduk saya malah terlihat sedih.

Buat saya film berhasil mengedukasi penontonnya. Kanker panyudara bukan hanya menyerang para wanita yang memiliki keindahan yang disukai pria, tapi juga dapat menyerang pria yang tanpa sadar bisa mengalami.

"Saya berharap ketika menonton dan keluar dari bioskop, mereka berfikir bahwa apa pun tantangan hidup yang dialami, setiap orang harus bisa kuat dalam menghadapinya agar hidup dapat berguna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain khususnya orang-orang yang dicintai," Agni Pratistha.

Film ini fokus pada mereka yang terkena penyakit hingga tidak terselamatkan. Konflik dibangun untuk dirasakan bagaimana orang-orang terkasih harus ikut menderita. Sayang, dengan durasi lebih 1 jam ini, saya tidak melihat bagaimana menjalani hidup sehat agar tidak terkena kanker. Hanya soal impian-impian yang harus dikubur atau percaya bahwa impian bisa terus dikejar.

Rating : 8,9 (6-10)
Film ini bertahan hanya 4 hari di bioskop Semarang.

Artikel terkait :
...

Informasi Kerjasama

Hubungi lewat email dotsemarang@gmail.com
Atau klik DI SINI untuk detail lebih lengkap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar