Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pejuang Tionghoa dalam pertempuran 10 November. ©buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran
15 Februari 2017, rakyat Indonesia dihadapkan dengan Pilkada Serentak yang digelar di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pesta demokrasi regional ini bertujuan untuk mencari pemimpin terbaik yang bakal mengabdi pada daerahnya.
Sebagai sebuah proses demokrasi, Pilkada sejatinya adalah proses politik biasa yang tidak mencemaskan warga. Namun sayang, belakangan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) menyeruak muncul menodai proses demokrasi yang tengah berjalan. Kasus penistaan agama dan diskriminasi terhadap kaum minoritas, khususnya etnis keturunan Tionghoa, seakan menjadi problematika yang terus berulang.
Khusus untuk masyarakat entis Tionghoa, sejatinya mereka memiliki peran besar dalam perkembangan bangsa Indonesia. Salah satunya keterlibatan mereka dalam usaha meraih kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Sentosa, dijelaskan bagaimana heroisme warga Tionghoa pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur.
Ilustrasi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur (Youtube)
Keterlibatan warga Tionghoa itu direkam oleh Harian Merdeka edisi 17 Februari 1946. Lewat laporan khususnya bertajuk Pendoedoek Tionghoa Membantoe Kita, Harian Merdeka memuji peran warga Tionghoa dalam pertempuran pasukan Indonesia melawan pasukan Britania Raya (sekutu) yang ditunggangi Belanda.
Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Dalam pertempuran itu, warga Tionghoa menyebut diri sebagai TKR Chungking dan membawa bendera Kuo Min Tang sebagai identitasnya. Perlengkapan tempur yang digunakan juga sedikit berbeda dengan pejuang lainnya, mereka menggunakan Fritz Helmet yang digunakan pasukan Wehrmacht (Jerman), lengkap dengan senapan Karaben (Kar) 98-K yang didapatkan dari Nazi Jerman pada 1930-an.
Tak hanya ikut dalam pertempuran, warga Tionghoa juga terlibat dalam pengobatan terhadap pejuang yang terluka. Korps medis ini diberi nama Barisan Palang Merah Tionghoa. Satuan ini diberangkatkan dari RS Militer di Malang dan mendapat tugas untuk memasok ransum bagi para pejuang yang berada di garis depan.
Para pemuda Tionghoa dari Malang juga bergabung dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin langsung oleh Bung Tomo. Mereka adalah Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek, Auwyang berperan sebagai ahli amunisi dan peledak yang didapat dari pertempuran antara China dengan Jepang.
Selama berlangsungnya pertempuran mempertahankan Surabaya dari serangan pasukan sekutu, warga Tionghoa telah mendirikan 10 pos dengan 10 dokter ditambah tenaga medis lainnya. Seluruh biaya ditanggung sepenuhnya oleh organisasi Chung Hua Chung Hui. Tak hanya sebagai tenaga medis, beberapa di antaranya ikut terlibat dalam serbuan 'berani mati' saat penyerbuan ke sarang serdadu sekutu dan Gurkha.
Guna memperoleh kemenangan besar, pasukan sekutu banyak menjatuhkan bom dan menembaki beberapa lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian para pejuang. Tindakan itu membuat banyak korban berjatuhan, termasuk warga sipil yang tak ikut mengangkat senjata.
Serangan demi serangan yang sebagian besar diarahkan ke warga membuat rakyat Indonesia marah, tak terkecuali warga Tionghoa, mengingat sebagian besar korban merupakan orang Tionghoa. Apalagi, pos kesehatan yang didirikan juga ikut diserang sekutu.
Dari pertempuran ini, diperkirakan 1.000 penduduk Tionghoa tewas dan melukai 5.000 orang lainnya. Secara keseluruhan, jumlah korban tewas mencapai 20.000 orang Indonesia sementara sekutu hanya 1.500 orang. [tyo]
15 Februari 2017, rakyat Indonesia dihadapkan dengan Pilkada Serentak yang digelar di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pesta demokrasi regional ini bertujuan untuk mencari pemimpin terbaik yang bakal mengabdi pada daerahnya.
Sebagai sebuah proses demokrasi, Pilkada sejatinya adalah proses politik biasa yang tidak mencemaskan warga. Namun sayang, belakangan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) menyeruak muncul menodai proses demokrasi yang tengah berjalan. Kasus penistaan agama dan diskriminasi terhadap kaum minoritas, khususnya etnis keturunan Tionghoa, seakan menjadi problematika yang terus berulang.
Khusus untuk masyarakat entis Tionghoa, sejatinya mereka memiliki peran besar dalam perkembangan bangsa Indonesia. Salah satunya keterlibatan mereka dalam usaha meraih kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Sentosa, dijelaskan bagaimana heroisme warga Tionghoa pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur.
Ilustrasi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur (Youtube)
Keterlibatan warga Tionghoa itu direkam oleh Harian Merdeka edisi 17 Februari 1946. Lewat laporan khususnya bertajuk Pendoedoek Tionghoa Membantoe Kita, Harian Merdeka memuji peran warga Tionghoa dalam pertempuran pasukan Indonesia melawan pasukan Britania Raya (sekutu) yang ditunggangi Belanda.
Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Dalam pertempuran itu, warga Tionghoa menyebut diri sebagai TKR Chungking dan membawa bendera Kuo Min Tang sebagai identitasnya. Perlengkapan tempur yang digunakan juga sedikit berbeda dengan pejuang lainnya, mereka menggunakan Fritz Helmet yang digunakan pasukan Wehrmacht (Jerman), lengkap dengan senapan Karaben (Kar) 98-K yang didapatkan dari Nazi Jerman pada 1930-an.
Tak hanya ikut dalam pertempuran, warga Tionghoa juga terlibat dalam pengobatan terhadap pejuang yang terluka. Korps medis ini diberi nama Barisan Palang Merah Tionghoa. Satuan ini diberangkatkan dari RS Militer di Malang dan mendapat tugas untuk memasok ransum bagi para pejuang yang berada di garis depan.
Para pemuda Tionghoa dari Malang juga bergabung dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin langsung oleh Bung Tomo. Mereka adalah Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek, Auwyang berperan sebagai ahli amunisi dan peledak yang didapat dari pertempuran antara China dengan Jepang.
Selama berlangsungnya pertempuran mempertahankan Surabaya dari serangan pasukan sekutu, warga Tionghoa telah mendirikan 10 pos dengan 10 dokter ditambah tenaga medis lainnya. Seluruh biaya ditanggung sepenuhnya oleh organisasi Chung Hua Chung Hui. Tak hanya sebagai tenaga medis, beberapa di antaranya ikut terlibat dalam serbuan 'berani mati' saat penyerbuan ke sarang serdadu sekutu dan Gurkha.
Guna memperoleh kemenangan besar, pasukan sekutu banyak menjatuhkan bom dan menembaki beberapa lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian para pejuang. Tindakan itu membuat banyak korban berjatuhan, termasuk warga sipil yang tak ikut mengangkat senjata.
Serangan demi serangan yang sebagian besar diarahkan ke warga membuat rakyat Indonesia marah, tak terkecuali warga Tionghoa, mengingat sebagian besar korban merupakan orang Tionghoa. Apalagi, pos kesehatan yang didirikan juga ikut diserang sekutu.
Dari pertempuran ini, diperkirakan 1.000 penduduk Tionghoa tewas dan melukai 5.000 orang lainnya. Secara keseluruhan, jumlah korban tewas mencapai 20.000 orang Indonesia sementara sekutu hanya 1.500 orang. [tyo]
★ Otonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar